Meskipun beberapa pakar menyatakan konsep hak asasi manusia secara sederhana sampai kepada filsafat stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan Ius naturale dari undang-undang romawi. Tampak jelas bahwa asal usul konsep hak asasi manusia yang modern dapat dijumpai dalam revolusi inggris, amerika serikat dan prancis pada abad ke-17 dan ke-18.
1. Pengalaman Inggris
Magna Carta tahun 1215 sering keliru dianggap cikal bakal kebebasan warganegara Inggris, piagam PBB ini hanyalah sebuah program kompromi untuk pembagian kekuasaan antara Raja Jhon dan para bangsawannya. Baru belakangan kata-kata dalam piagam PBB memperoleh makna yang lebih luas. seperti sekarang ini sebenarnya baru dalam Bill of Rights tahun 1689 muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak atau kebebasan individu.
2. Pengalaman Amerika Serikat.
Para pemimpin koloni-koloni Inggris di Amerika Utara yang memberontak pada paruh kedua abad 18 tidak melupakan pengalaman revolusi Inggris dan berbagai upaya filosofis dan teoretis untuk membenarkan revolusi itu. Dalam upaya melepaskan koloni-koloni dari kekuasaan Inggris, menyusul ketidak puasan akan tingginya pajak dan tidak adanya wakil parlemen Inggris. Para pendiri Amerika Serikat mencari pembenaran dalam teori kontrak sosial dan hak-hak kodrati dari Locke dan para filsuf Prancis. Deklarasi Hak Asasi Virginia yang disusun oleh George Mason sebulan sebelum Deklarasi Kemerdekaan, mencantumkan kebebasan-kebebasan yang spesifik yang harus dilindungi dari campur tangan negara.
3. Pengalaman Prancis.
Penyelesaian yang terjadi meyusul revolusi prancis juga mencerminkan teori kontrak sosial serta hak-hak kodrati dari Locke dan para filsuf Prancis, Monstesquieu dan Rousseau. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan warganegara prancis yang terjadi pada tahun 1789 memperlihatkan dengan jelas sekali pemerintah adalah suatu hal yang tidak menyenangkan yang diperlukan, dan diinginkan sedikit mungkin. Menurut Deklarasi tersebut, kebahagiaan sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari “hak-hak manusia yang suci, dalam hal ini tidak dapat dicabut, dan merupakan suatu kodrat”.
Kepedulian interasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala yang relatif baru. Meskipun dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum perang dunia II, baru setelah dimasukkan kedalam piagam PBB pada tahun 1945, dapat berbicara mengenai adanya perlindungan hak asasi manusia yang sistematis di dalam sistem internasional. Namun, jelas bahwa upaya domestic semacam itu mempunyai sejarah yang panjang dan terhormat, yang berkaitan erat dengan kegiatan revolusioner yang bertujuan menegakkan sistem konstitusional yang berdasarkan pada legimitasi demokratis dan rule of law (pemerintahan berdasarkan hukum).
Awal dari perhatian internasional kepada hak-hak asasi manusia, setidak- tidaknya dapat dipandang dari sudut hukum internasional, serta dapat pula ditelusuri baik dari perbudakan ataupun peperangan. Jika perjanjian multilateral pertama atau konfensi bukan hanya suatu pertemuan melainkan sebuah instrument hukum yang dianggap suatu patokan, maka kepedulian internasional kepada hak-hak asasi manusia sudah mulai sejak kira-kira seratus dua puluh lima tahun yang lalu. Ironisnya, perjanjian multilateral pertama mengenai hak-hak asasi manusia timbul dari peperangan, dan cabang tertua dari undang undang hak asasi manusia dalam pertikaian bersenjata. Berikut penjelasan tentang hak asasi dalam pertikaian bersenjata dan perbudakan:
a. Hak-hak asasi manusia dalam pertikaian bersenjata
Pada tahun 1864 negara-negara besar pada saat itu kebanyakan negara barat menulis konvensi gevena pertama untuk korban-korban pertikaian bersenjata. Perjanjian ini mencantumkan asas sentral bahwa petugas kesehatan harus dianggap netral sehingga mereka dapat merawat prajurit- prajurit yang sakit dan terluka.
b. Hak-hak asasi manusia dan perbudakan.
Palang merah untuk melindungi hak-hak manusia dalam pertikaian bersenjata dan secara bebas mungkin bisa disebut upaya-upaya liga bangsa untuk melindungi berbagai hak, kecenderungan sejarah utama ketiga timbul setelah ada dua kecenderungan utama sebelum tahun 1945 dari usaha yang memakan waktu lama untuk melindungi hak-hak mereka yang tersekap dalam perbudakan. Yang menaungi hal ini bukanlah salah satu organisasi dunia melainkan gabungan-gabungan dari pimpinanorganisasi nonpemerintah. Akhirnya membujuk Negaranegara untuk juga menyetujui Konvensi tahun 1926 yang menyatakan bahwa perbudakan tidaklah sah.
Ada dua pendekatan yang menjelaskan asal muasal hak asasi manusia yaitu:
Pertama: Pemikiran yang berdasarkan pandangan atau ajaran agama atau merujuk pada nilai-nilai Ilahiah (wahyu Allah) adalah sebagai kekuatan yang mengatasi manusia dan keberadannya, hal tersebut tidak bergantung pada manusia. Karena Agama-agama memberikan argument yang sangat jelas bahwa manusia berawal dan berakhir dari Sang Pencipta. Tidak ada satu pun yang berharap menguasai atau bertindak sewenang-wenang terhadap manusia. Oleh karena hak asasi adalah anugerah Tuhan, maka perlindungan atas manusia merupakan bagian tanggung jawab manusia terhadap Tuhan.
Semua instrumen internasional mewajibkan sistem konstitusional domestic, setiap negara memberikan kopensasi yang memadai kepada orang-orang yang haknya dilanggar. mekanisme internasional untuk mejalin hak asasi manusia baru akan melakukan perannya apabila sistem perlindungan di dalam negara itu sendiri goyah atau, pada kasus yang ekstrem, malahan tidak ada. Dengan demikian mekanisme internasional sedikit benyak berfungsi memperkuat perlindungan domestik terhadap hak asasi manusia dan menyediakan pengganti jika sistem domestic gagal atau ternyata tidak memadai.
Di Indonesia sendiri, kebangkitan kepedulian terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia di kalangan khalayak, kaum intelektual, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah merupakan suatu gejala yang wajar sehubungan dengan faktor-faktor yang sangat berpengaruhpada persepsi dan realisasi hak-hak manusia, yaitu tingkat perkembangan sosial, ekonomi, politik dan budayanya.
Dari sudut sejarah faktor pengaruh kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia justru merupakan arus dasar dari perjuangannya untuk merdeka, dan kemudian upaya-upaya mengisi kemerdekaan itu melalui pembangunan untuk mengentas martabat manusia dan hak-hak asasinya.
Agama menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Dalam islam misalnya dapat kita temukan penjelasan Al-Quran sebagai berikut:
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna."
Kedua: pemikiran yang tidak secara langsung mendasarkan diri pada agama. Pemikiran ini sangat beragam. Ada yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa agama manusia bisa hidup di bawah nilai kemanusiaan memerlukan syarat objektif, yang bila syarat tersebut tidak terpenuhi maka nilai kemanusiaan akan musnah.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa keberadaan hak asasi tidak tergantung pada dan bukan berasal dari manusia, melainkan berasal dari instansi yang lebih tinggi dari manusia. Oleh karena itu, ham tidak bisa dicabut dan tidak bisa dibatalkan oleh hukum positif manapun. Hukum positif harus diarahkan untuk mengadopsi dan tunduk pada ham. Dan bila ada yang bertentangan, maka hak asasi yang harus dimenangkan.