Pada masa Orde Baru di mana partai politik hanya diikuti tiga kelompok yaitu PPP, Golkar dan PDI, menjadikan kebebasan berpolitik sedikit terhambat. Di samping itu, posisi partai politik Islam semasa pemerintahan Orde Baru tidak mendapatkan ruang untuk menyuarakan secara bebas aspirasi mereka. Walaupun disediakan sebuah partai untuk menampung aspirasi politik Islam, tetapi mereka tidak dapat menyuarakannya sesuai dengan aspirasi mereka. Runtuhnya rezim Orde Baru yang memberikan kebebasan setiap orang untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, memunculkan suasana lain.
Kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat diberikan secara mutlak kepada masyarakat. Kondisi semacam ini memberi angin segar kepada mereka komunitas yang sebelumnya hanya mampu bergerak di bawah tanah, seperti halnya komunitas Islam garis keras. Berbagai kelembagaan muncul dengan nama dan dasar atau asas masing-masing. Berbeda dengan masa Orde Baru dimana setiap kelembagaan harus berasas pancasila atau yang kerapkali disebut asas tunggal.
Runtuhnya masa kepemimpinan otoriter yang menjadikan perubahan peta perpolitikan berubah dengan cepat. Hal itu terlihat dari beramai-ramainya orang mendirikan partai politik sebagai kendaraan untuk dalam kekuasaan. Pada pemilu tahun 1999 terdapat lebih dari 150 partai yang mendaftarkan diri, tetapi hanya 48 partai yang berhak menjadi kontestan dalam pemilihan umum secara resmi. Ideologi maupun program yang diusung oleh partai-partai juga sangat beragam; dari isu agama hingga isu kemiskinan dan isu rakyat kecil-wong cilik . Hal ini dipicu dengan penghapusan asas tunggal yang diterapkan pada masa Orde Baru.
Partai-partai Islam muncul dengan asas dan tujuan yang berbeda. Dengan kata lain politik Islam mulai mewarnai kehidupan di Indonesia. Pada konteks semacam ini politik Islam bisa dilihat dari berbagai macam ukuran dan pada intinya ada dua dimensi dari orientasi politik Islam yakni orientasi nilai-nilai politik simbolik Islam dan orientasi atas politik Islam sebagai tuntutan legal spesifik.
Dua dimensi ini mampu memetakan antara partai politik Islam yang secara prinsip benar-benar menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang lebih baik dan partai politik Islam yang hanya mengambil keuntungan untuk mencapai posisi puncak dalam pemerintahan. Semisal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mengusung penerapan syariat Islam di Indonesia, ternyata mampu meraih suara yang cukup signifikan dibanding pemilu sebelumnya. Meskipun PKS dalam hal ini nota bene komunitas yang ingin mewujudkan Islam kaffah, namun partai ini mampu menarik simpati masyarakat dengan perilaku yang di terapkannya.
Persoalan muncul ketika sebuah kelembagaan atau institusi mengusung nilai-nilail ke-Islam-an kaffah dengan sarana yang mengundang respon negatif masyarakat. Semisal dengan adanya tindakan anarki kepada komunitas yang dinilai tidak Islami. Tindakan-tindakan yang secara sepihak oleh komunitas tersebut dianggap sebagai tindakan positif, justru memunculkan image negatif dimata masyarakat. Satu contoh sebagaimana diketahui bersama teror bom dalam bentuk peledakan bom sebagaimana terjadi di Bali, kemudian pengrusakan terhadap kafe-kafe dan diskotik di beberapa daerah.
Timbulnya salah pengertian tentang Islam oleh sebagian kaum muslim, termasuk mempersepsikan Islam dengan kekerasan atau terorisme, sejak dulu kala sampai sekarang tidak saja dipengaruhi oleh pemahaman dan pemikiran positivistik (legal formal). Suatu metode pemikiran yang melihat persoalan interaksi sosial kompleks hanya dilihat dari segi tekstual, halal, haram, hak, dan kewajiban. Konsekuensional dari model pemikiran ini adalah menjadikan sebagian umat Islam tidak mampu membedakan antara mana yang merupakan esensi ajaran Islam, dan mana pula yang tergolong budaya lokal atau Arab.
Sampai saat ini dakwah pelaksanaan Islam secara kaffah atau fundamental masih berlangsung dan terus berlangsung. Bahkan proses pendakwahan diusung masing-masing organisasi yang berbeda nama seperti Hizbut Tahrir, DDI (Dewan Dakwah Islamiyah) dan beberapa ormas Islam yang memiliki pemahaman Islam radikal. Fenomena kelompok garis keras yang mengusung isu-isu agama-pelaksanaan syariat Islam pemberantasan maksiat dan semacamya dapat diartikan sebagai strategi politik untuk meraih dukungan. Realitas di atas merupkan gambaran pergerakan komunitas Islam radikal dari aspek keorganisasian atau kelembagaan.
Radikalisasi tidak hanya berkutik pada lingkungan politik melainkan melebar pada lingkungan pendidikan. Banyak pesantren-pesantren yang tengah terkontaminasi ajaran-ajaran Islam garis keras. Semisal Pondok pesantren yang berada di kawasan Ngruki (Al Mukmin). Pesantren adalah lembaga yang mengajarkan pendidikan keagamaan secara menyeluruh. Dengan kata lain, pesantren lebih mengkhususkan pendidikan agama Islam sebagai materi pokoknya. Walaupun demikian lembaga ini membuka diri untuk mengadopsi sistem pembelajaran mutakhir melalui penambahan pelajaran, khususnya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pengetahuan non agama. Masyarakat muslim pada umumnya tertarik dengan pola pendidikan pesantren. Setidaknya peningkatan iman dan pendidikan ahlaq terdapat di dalamnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa penanaman sikap tawadlu’ kepada kiai sangat diterapkan dalam kelembagaan tersebut. Realita semacam ini, tanpa disadari menumbuhkan sikap militansi yang kuat. Kondisi yang semacam ini merupakan sasaran empuk bagi penganut Islam radikal untuk berdakwah dalam menyebarkan ajarannya. Semisal Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki. Lembaga ini didirikan oleh orang-orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan syari’at Islam. Dengan proses yang berkelanjutan lembaga ini mampu membentuk wadah yang semula madrasah menjadi tempat pengkaderan generasi muda muslim .
KH.Wahyudin salah satu wakil pemimpin pesantren Al Mukmin menyatakan bahwa:
“Syariat Islam bukan salah satu, tapi satu-satunya yang dapat menyejahterakan umat, karena Islam sendiri mengatur dunia dan akhirat. Dalam pandangan kami tugas kepemimpinan Islam itu adalah menyejahterakan umat di dunia dan akhirat. Tentu pemahaman seperti ini perlu disosialisasikan dan perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Ungkapan yang dikutip dalam buku Islam dan Radikalisme di Indonesia tersirat bahwa para ulama di pesantren al Mukmin memiliki pemahaman bahwa penerapan konsep syariat dirasa mampu mensejahterakan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat muslim pada khususnya. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam baik dari segi politik budaya maupun segi yang lainnya.
Konsep pesantren yang militan dan patuh pada kiai menjadikan mereka para ulama dengan mudah mendoktrin ajaran-ajaran atau perilaku yang pada intinya pemberlakuan konsep syariat atau mencapai Islam kaffah (menyeluruh). Ajaran-ajaran tersebut pada umumnya dikemas dalam konsep jihad yang selalu diidentikan dengan peperangan dan kekerasan.
Meskipun begitu, Islam radikal sangat dimungkinkan tidak bisa berkembang secara pesat di Indonesia. Hal ini dikarenakan kultur bangsa Indonesia yang lebih memandang konsep perdamaian dalam beragama. Dengan kata lain, Islam radikal di Indonesia hanya berkembang pada komunitas tertentu, dan pada waktu tertentu bahkan selalu mengalami pertentangan oleh masyarakat Indonesia.
ADS HERE !!!