Di dalam kehidupan berumah tangga yang ingin dicapai adalah keluarga yang Sakinah. Keluarga Sakinah sebenarnya istilah yang sering digunakan oleh bangsa Indonesia yang menggambarkan suatu keluarga yang bahagia dalam perspektif ajaran Islam. Dalam bahasa Arab disebut dengan Usrah Sa’idah, keluarga bahagia.
Ketika suami-istri bertekad untuk hidup bersama dihadapan Allah SWT, melalui ijab-qabul, mereka ingin meraih cita-cita menjadi keluarga yang sakinah. Memang hal itu merupakan cita-cita hampir semua keluarga. Namun, kehidupan baru dalam berumah tangga tidak selalu berjalan mulus. Apa mau dikata jika konflik-konflik mulai bermunculan dan kedua belah pihak menjadi bersitegang terus-menerus.
Pada dasarnya, permasalahan dalam keluarga merupakan hal yang wajar terjadi, permasalahan tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan membebani maka kebahagiaan dalam keluarga tersebut akan berkurang atau bahkan lama-lama menghilang entah kemana. Biasanya, keputusan yang diambil untuk mengungkapkan ketidakbahagiaan tersebut adalah perceraian. Untuk mencegah terjadinya perceraian, diperlukan adanya kebahagiaan dalam keluarga. Kebahagiaan dalam keluarga adalah suatu hal yang sangat subyektif atas kualitas keluarga itu sendiri dan sangat tergantung pada terpenuhi atau tidak kebutuhan, harapan, dan keinginan masing-masing pihak (suami istri).
Dapat kita ketahui bahwa banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang mendasarkan tindakannya pada keyakinan bahwa laki-laki punya hak sepenuhnya atas tubuh dan integritas perempuan. Meskipun ini menyedihkan, kita juga harus mengakui bahwa keyakinan serupa itu antara lain mereka peroleh dari mimbar-mimbar agama. Pandangan yang membenarkan dominasi laki-laki ini memang subur dikonstruksi laki-laki atas perempuan oleh tafsir-tafsir ajaran agama misoginis. Itu berarti tubuh perempuan adalah milik laki-laki, baik itu bapaknya sebagai wali maupun setelah menikah.
Hal itu menjadi persoalan, karena posisi mereka yang sedemikian rupa diakui di dalam masyarakat menyebabkan mereka punya kesempatan yang besar untuk merekonstruksi dominasi lelaki atas perempuan. Terutama dengan menggunakan ajaran-ajaran agama sebagai senjata pamungkas. Sebagai contoh barangkali kita semua mengetahui bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan seringkali mereka bersandar pada surat an-Nisa ayat 34:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.” (QS. An-Nisa’ : 34)
Ayat tersebut sering digunakan oleh laki-laki sebagai alasan diperblehkannya melakukan kekerasan kepada istrinya apabila hal itu diperlukan. Namun dalam kehidupan kita sebagai masyarakat berbangsa dan bernegara, kita juga diikat oleh peraturan-peraturan yang ada di Negara kita.
Apabila membicarakan sosial perempuan dan laki-laki dari sudut pandang hak dan kewajiban, rupanya tidak akan mendapatkan hikmah yang membawa kemajuan. Kecuali semata atas dasar pendekatan yuridis. Sebab ketentuan hak dan kewajiban, baik dilihat dari sudut pandang ajaran agama maupun aturan yang ditentukan hukum positif negara, telah jelas telah menguraikan hal tersebut hanya soal interpretasi saja yang kadang saling berlainan. Namun lebih hakiki adalah melihat persoalan kaum perempuan dan laki-laki dan sisi kebutuhan sebagai manusia yang melengkapi secara sewajarnya.
Dalam UU No. 23 Tahun 2004 yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yang menyebutkan setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang yang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Kuantitas kekerasan dalam rumah tangga laksana gunung es. Berbagai kasus yang terungkap media masa yang menjadi acuan bagi sejumlah LSM untuk memberikan bantuan dan pendampingan terhadap korban, sesungguhnya bagian kecil dari realitas yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam keluarga banyak faktor yang menyebabkan perselisihan, seperti ketidakcocokan dalam hubungan batiniah dan rohaniah antara suami istri, kesewenangan melaksanakan perceraian dan memadu, dan khususnya pembagian tugas dan kewajiban antara suami istri, faktor lain yang mempengaruhi keluarga adalah faktor dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama di masyarakat luar keluarga.
Ketidakadilan gender pun muncul dalam rumah tangga, berbagai bentuk perlakuan yang merugikan salah satu pihak baik laki-laki maupun perempuan mulai bermunculan di masyarakat. Ketidakadilan dapat termanifestasikan dalam bentuk kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Perbedaan gender dalam berbagai hal akan mengakibatkan stereotyping yang merugikan salah satu pihak, hal ini merupakan dampak dari pola sosialisasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang dapat menimbulkan bias dan kesenjangan gender. Bias gender sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, geografis dan kebudayaan suatu masyarakat, sehingga membentuk sebuah pola pikir yang telah menyatu dengan kehidupan manusia dan seolah-olah tidak dapat berubah.
Sesungguhnya perbedaan gender (gender difference) tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun kenyataannya konsep bias gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Data dan statistik tentang kekerasan terhadap istri yang ada di media atau badan-badan resmi belum ditemukan, namun dari berbagai kasus peristiwa yang dilaporkan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Pada tahun 2004 di Pengadilan Agama terdapat 1317 perkara permohonan cerai yaitu 510 diajukan oleh suami (CT), dan 807 diajukan oleh istri CG.
2. Data istri korban kekerasan dalam rumah tangga 2004 di jawa tengah dari LRC-KJHAM, terdapat 132 kasus KDRT yang terungkap di media massa, korban meninggal sebanyak 18 perempuan. Dan data kekerasan hubungan sex dalam keluarga dan perkosaan: kakek terhadap cucunya 1 kasus, ayah kandung terhadap anaknya 14 kasus, paman terhadap keponakannya 2 kasus, sepupu terhadap sepupu nya 2 kasus.
3. Data istri korban kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani SERUNI: Mei sampai dengan Desember 2005 ada 55 kasus, hanya satu korban lelaki. Januari sampai juni 2006 ada 36 kasus, 23 kasus KDRT, 2 perkosaan, 5 kekerasan dalam pacaran, 1 kekerasan terhadap anak, 3 PRT anak, 1 kekerasan di tempat kerja, 1 buruh imigran. Pada bulan Januari sampai bulan September 2007 SERUNI kasus yang ditangani oleh SERUNI berjumlah 61 kasus di antaranya 1 korban kekerasan terhadap perempuan, yang lain kekerasan dalam rumah tangga, yang tidak litigasi atau tidak sampai ke pengadilan 2, yang lainnya litigasi sampai ke pengadilan, proses perceraia.
Data di atas merupakan sebagian kecil data kekerasan yang telah ditangani. Masih banyak lagi data yang tidak tercatat dan kita baca di surat kabar yang setiap hari beredar, dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada tahun 2007.
Dari 90% yang merasa tidak bahagia dengan kehidupan rumah tangganya, mayoritas mereka akan memutuskan bercerai. Hal ini akan lebih mudah terjadi saat rujuk paska perceraian atau ada solusi pemecahan lain yang lebih bisa diterima masyarakat. Jadi masyarakat akan menyadari akan perlunya praktisi keluarga, dengan memberikan “pencegahan” sebelum permasalahan mereka melebar. Hal ini akan terwujud dengan membangkitkan kesadaran tentang alasan terjadinya disharmoni dalam keluarga serta memberikan pendidikan kepada masyarakat melalui penyuluhan.
Dikarenakan banyaknya kekerasan dalam rumah tangga di Semarang banyak sekali dan banyaknya pengaduan-pengaduan maka SERUNI sebagai Tim Terpadu yang menangani kekerasan terhadap kasus KDRT, SERUNI merasa terketuk untuk ikut andil dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga agar tercapai tujuan keluarga sakinah mawaddah warohmah yang diridlai Allah SWT agar tidak terjadi tindak kekerasan antara suami dan istri.
Kenyataan akan adanya problem yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan keluarga, yang kerap kali tidak bisa diatasi sendiri oleh yang terlibat dengan masalah tersebut, menunjukkan diperlukan adanya konseling dari orang lain untuk turut serta mengatasinya. Selain itu, kenyataan bahwa kehidupan pernikahan dan keluarga itu selalu saja ada problemnya, menunjukkan pula perlunya adanya bimbingan Islami mengenai pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga.
Dengan adanya proses bimbingan yang sangat dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan dalam rangka terhindarnya perempuan dari trauma yang berkepanjangan. Dilihat prakteknya, bimbingan adalah melatih untuk mengenal kemampuan dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam aspek kehidupan.
Dalam uraian konsep bimbingan konseling Islami dapat diketahui bahwa bimbingan Islami dirumuskan sebagai “proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat,” sementara konseling Islami dirumuskan sebagai “proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya yang terjadi adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan pelaku dalam rumah tangga biasanya adalah pihak yang kuat, menindas yang lemah, yang dalam pembahasan ini dikhususkan kekerasan suami terhadap istri. Istri korban kekerasan memerlukan bantuan orang yang ahli untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, karena ada tindakan kekerasan yang dalamnya.